Add caption |
Beberapa hari lalu, tepatnya pas anak-anak didik saya di SFC Kids Futsal latihan, ceritanya saya membagikan piala yg sudah di duplikat kepada para murid yang ikut lomba futsal seminggu sebelumnya. Niatan saya membagikan ini saat waktu latihan, agar bisa memotivasi anak-anak lain yg belum terpilih ikut bertanding, agar juga semakin semangat untuk juga bisa seperti temen-temennya yang bertanding dan menang itu. Ternyata diluar prediksi saya, ada beberapa anak yang menangis, sampe mamanya kerepotan untuk menenangkannya. Ada yang menangis disana sampe ngambek-ngambek ga mau pulang dan akhirnya mamanya minta saya untuk menjual salah satu piala yang sebetulnya adalah pesanan anak yang bertanding, tapi pas ga dateng. Mamanya memohon sama saya supaya bisa dibolehkan membeli piala itu untuk anaknya yang ngambek dan menangis. Akhirnya saya kasih lah itu piala.. Ada lagi anak yang ternyata ngambeknya setelah sampe dirumah, sampe mamanya juga berusaha menenangkan dan memberi pengertian kepada anaknya.
Karena hal ini saya pun merenung, ada PR (besar) bagi saya dan mungkin juga para orangtua lainnya, akan hal ini. Mungkin mereka hanyalah anak-anak yang wajar saja ngambek ketika apaa yang mereka inginkan ga sesuai dengan kenyaataan yang ada. Tapi yang saya pikirkan adaalah problem solving dari masisng-masing orangtua, beda kepala beda pula cara penyelesaian masalahnya. Ada ortu yang memilih ga mau ribut bin ribet.. anak mau apa, kasih aja atau beli aja deh.. beresss! Tapi ada ortu yang mau ribet sedikit, ekstra sabar ngadepin ngambek anak, bahkan ada yang mungkin sampe pake tantrum segala. Berusaha bujukin, kasih pengertian agar anaknya ga perlu ngambek.. bahwa intinya mereka harus bisa menerima kondisinya, bahwa ga semua keinginan kita itu, hasil akhirnya sesuai dengan harapan dan kemauan kita.
Poin utamanya yang bagi saya menjadi PR (besar) buat saya adalah, mempersiapkan anak untuk kalah, mempersiapkan mental dan pemikiran anak untuk siap jika menghadapi situasi yang ga sesuai harapan mereka. Menyiapkan mereka bagaimana menerima hal yang ga sesuai dengan maunya mereka dengan jiwa besar, ikhlas dan justru menjadi motivasi untuk memperbaiki diri agar pantas mendapatkan apa yang diinginkan.
Pada saat murid-murid SFC Kids Futsal saya bertanding beberapa minggu lalu, ada beberapa catatan dan hal yang cukup mengusik pikiran saya. Ada sebuah sekolah dasar yang akhirnya bertemu lagi dengan kedua tim yang kami kirim di Final. Khususnya tim yang kelas 4-6 SD ya.. Ceritanya, mereka ini sudah bertemu di babak penyisihan, dan meski sudah berusaha, anak-anak kami tetap harus mengakui keunggulan mereka dengan kalah skor 4-2. Tetapi yang bikin agak takjub, anak-anak SD yang jadi lawan kami ini, amat sangat bernafsu untuk menang, sehingga yang kami lihat di lapangan, mereka seperti membolehkan berbagai cara, mulai dari nyikut, dorong kasar, sengaja nabrakin diri saat rebutan bola dst. Woww.. saya sampe kaget juga, anak SD loh.. mereka sudah bertanding dengan pola seperti itu. Yang lebih mengagetkan lagi, orangtunya.. orangtuanya loh ya.. ada teriakan beberapa ibu yang justru menyuruh anaknya untuk berbuat kasar. "Udah sikut aja.. hajar biar tau dia..". Ck..ck..ck.. Saya sebagai manager tim SFC Kids Futsal, saat itu meski anak-anak kalah, tetap menyemangati mereka bahwa mereka sudah bermain bagus, sportif dan kompak. Ga masalah kalian kalah, karena itu lah kompetisi, ada menang ada kalah. Jadikan kekalahan ini sebagai pijakan kalian untuk jadi tim yang lebih baik lagi.
Wajah sumringah anak-anak bersama pelatihnya saat pembagian piala |
Ternyata karena sistem pertandingan adalah sistem skoring tertinggi, tim kami meski kalah tetap lolos dari babak penyisihan. Anak-anak kami berhasil bangkit lagi, menang lagi, dan akhirnya di final bertemu lagi dengan tim yang mengalahkan mereka di babak penyisihan. Di final ini, tim kami berhasil membalas kekalahan dengan menahan mereka dengan skor sama yaitu 1-1. Namun harus gagal di tendangan penalty yang terakhir.. mereka unggul 5-4. Mereka menang? Ya mereka menang secara skor.. Secara mental? bagi saya tidak. Seperti pada babak penyisihan lalu, mereka kembali bermain kasar. Ada 2 anak SD di tim lawan yang secara postur, tinggi sekali untuk ukuran anak SD.. hampir 170 cm tingginya.. katanya sih mereka ada SD.. ya gapapa deh kalo beneran SD.. hehehe.. tapi kalo ternyata alumninya yang diajak main lagi, kan ga fair ya. Saat pembagian piala, meski kalah anak-anak tim kami semua bergembira, semangat naik ke panggung. Sebaliknya tim lawan yang juara 1, ga ada 1 pun yang nongol dan naik panggung, hanya diwakili perwakilannya saja. Ada apa..? Ga terima bahwa ternyata ada tim yang bisa ngimbangin kehandalan mereka..? Lalu gengsi mau sepanggung sama lawannya..? :)
Entah kenapa saya langsung teringat pula dengan fenomena pendukung sang petahana DKI yang gagal lanjut jadi Gubernur. Sepertinya kekalahan malah jadi euforia unik sekarang ini. Ketika gagal, kita memang butuh untuk menghibur diri, menguatkan diri dan pastinya mengevaluasi diri. Jangan hanya menghibur diri terus ga berkesudahan sehingga menjadi semua pemakluman atas kekalahan diri, justru yang utama itu jangan lupa evaluasi diri dan pastinya bangkit lagi, mulai lagi.. kalo bahasa ramenya sekarang Move On, hehehe.. Menurut saya.. menurut saya yaa.. ga sepaham boleh aja.. Menurut saya, sikap kita orang dewasa yang seperti ini, ga lepas dari pola didikan yang kita dapatkan ketika kecil. Terbiasa mendapatkan segala yang kita mau, selalu dituntut untuk jadi yang terbaik, selalu juara, harus punya nilai bagus, harus jadi orang kaya, jadi orang pinter dst..dst..
Kita lupa mengajarkan dan mendidik anak kita untuk bahagia.. lupa mengajarkan dan mendidik mereka bagaimana menghadapi kekalahan, menghadapi situasi atau kenyataan hidup yang kadang sering ga sesuai harapan.. Lupa mengingatkan, mengajarkan dan mendidik mereka bahwa hidup itu seperti roda, kadang dia ada dibawah kadang diatas. Kita lupa mengajarkan dan mendidik anak kita untuk punya mental pejuang, mental sportif, mental bersaing secara fair, dan tau batasan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2017. :)