Sabtu, 23 Februari 2013

Jangan Egois Jadi Ortu Kalau Mau Anak Lebih Sukses Dari Kita



Tiba-tiba teringat pembicaraan segerombolan ibu-ibu yang nampaknya sedang sarapan sambil menunggui anak mereka yang sekolah TK di sekitar tempat saya biasa membeli bubur ayam, beberapa hari lalu. Bukan bermaksud menguping, tapi memang karena suara mereka cukup kencang dalam “berdiskusi” tentang SD-SD yang sedang menjadi target mereka. Karena nampaknya putra-putri mereka tahun ini akan segera memasuki jenjang Sekolah Dasar. “Sekolah ini pendidikannya bagus bu, anak-anak ini selain belajar pelajaran umum, juga diwajibkan hapal surat-surat Alquran yang akhirnya saat lulus SD mereka bisa hapal Alquran, bla..bla..” kata salah seorang ibu dengan berapi-api.

Saya hanya mendengarkan saja, tanpa berkomentar. Ya iyalah.. kalo tiba-tiba saya komentar, diteriakin sama tuh ibu-ibu,” Siapa lo..??” *LOL*  Lalu ternyata beberapa teman saya juga ternyata sedang sibuk memilih SD untuk putra-putrinya. Saya pun teringat pula akan diskusi saya beberapa minggu lalu dengan suami, terkait rencana menyekolahkan anak. Karena putra kami yang pertama, Jamael Nadeem (4,5 thn), tahun depan pun Insya Allah akan memasuki jenjang Sekolah Dasar pula. Ceritanya saya sebagai ibunya anak-anak sudah punya pilihan dan rencana dalam memilih SD untuk anak. Sebuah SD Istec yang ga jauh dari rumah, yang secara nama tanpa embel-embel Istec-nya, sekolah ini cukup bernama. Pertimbangan saya, selain lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah, nama SD tersebut cukup familiar di telinga, dan (sepertinya) biaya masuk dan bulanan sekolahnya tidak terlalu mahal dan seterusnya.

Ketika saya dan suami berdiskusi, saya sampaikan rencana saya tersebut dengan segala alasan dan planning jangka panjangnya. Biasanya, untuk urusan anak, suami saya tuh ga banyak komentar dan cenderung lebih ikutan aja dengan rencana saya, karena menurut suami, saya dianggap lebih paham urusan rumah dan anak-anak. Tetapi diluar dugaan, kali ini ternyata suami saya berbeda pandangan dengan saya. Suami ga menolak ide saya sih, tapi dia menambahkan opsi bagi kami untuk pendidikan anak kami. Dia menambahkan opsi sebuah sekolah Islam yang sudah terkenal dimana-mana, dengan jaringannya yang juga luas. Sekedar diketahui, saya sempat terpikir ingin menyekolahkan anak-anak disana, tapi mengingat (katanya) mahalnya biaya masuk sekolah tersebut, dan gaya pergaulannya yang agak borjuis, membuat saya mencoret sekolah tersebut dalam opsi pilihan sekolah anak. “Aduuh bu, mending ga usah kesana deh.. disana pergaulannya ga bagus, soalnya kebanyak anak-anak borju yang sekolah disana, kalo liburan minimal ke singapur, trus ditanyainnya sekolahnya diantar pake apa.. Ga bagus buat perkembangan mental anak bu.,.” begitu kira-kira kata tetangga saya tahun lalu, saya diskusi soal sekolah anak.

Dan hal itu pun saya sampaikan ke suami, sebagai bentuk argumentasi saya dalam menanggapi keinginannya untuk menambahkan sekolah Islam ternama tersebut dalam opsi pilihan SD Nadeem nanti. Suami saya bilang, alasan-alasan penolakan saya atas SD Islam ternama dan terbesar itu memang benar, tapi dibalik semua alasan tersebut, suami saya pun punya alasan-alasan yang jauh lebih penting dari sekedar alasan yang sebetulnya ga penting sih..  Kesempatan!  Itu alasan suami saya dalam memilih sekolah tersebut. Menurutnya, dia ingin putranya bersekolah di sekolah yang memberikan banyak peluang dan kesempatan bagi putra kami kelak, sekolah yang memberikan keuntungan bagi CV putra kami kelak, sekolah yang memberikan pendidikan tidak hanya sekedar pendidikan berbasis kurikulum, tetapi juga pelajaran nilai kehidupan yang hanya bisa dipelajari dengan mengalaminya langsung dan untuk anak usia SD, tentunya memang harus selalu dalam pantauan orangtuanya, yaitu saya sebagai ibunya.

Soal pergaulan yang borjouis, diantar sekolah harus pakai mobil, liburan sekolah keluar negeri, menurut suami saya, itu hanya hal-hal kecil yang sifatnya duniawi dan harus bisa kami ajarkan ke anak-anak kami untuk tidak menjadi tolak ukur dalam menilai pribadi seseorang. Ketika kami yang dari keluarga biasa-biasa saja, bisa bertahan dan mengajarkan anak-anak kami dari terpaan nilai-nilai sosial yang sangat sempit ruangnya tersebut, disitulah keberhasilan kami sebagai orangtua dalam mendidik anak. Karena putra kami nantinya tidak hanya menjadi murid yang pintar secara akademis, tetapi juga pintar sebagai mahluk sosial-yaitu Pandai bergaul, tanpa harus memandang strata, jabatan dan kelas ekonomi keluarga temannya. Subhanallah.. saya cukup kaget dengan pandangan yang disampaikan suami saya, tidak pernah terpikir hal-hal tersebut sebelumnya. Dan saya anggap 100% benar pandangan tersebut, tetapi saat itu saya tidak menanggapi pandangan yang disampaikan suami saya. Tetapi saya memikirkannya dan mencoba memaknai apa yang jadi pemikiran suami saya saat itu. Akhirnya saya merasa, saya terlalu picik dan dangkal pikirannya saat memutuskan SD pilihan bagi anak kami. Dasar-dasar pemikiran yang saya pakai, semuanya hanya memikirkan dari kebutuhan saya sebagai orangtua, tetapi tidak mewakili kira-kira apa yang dibutuhkan putra kami dalam menyongsong masa depannya kelak.

Well, saya dan suami juga pernah di bangku sekolah, kami masing-masing pun punya pengalamannya masing-masing. Saya misalnya, sejak SD hingga SMA lingkungan sekolah saya tidak keluar dari satu rute tersebut, kecuali saat kuliah yang akhirnya benar-benar jauh dari rumah karena diluar kota. Sementara suami punya kisah lain, suami sejak SD sering berpindah-pindah sekolah. SD-nya sempat di Padang, lalu Jakarta dan Palembang. SMP-nya di Jambi, SMA di Palembang dan kuliah di Bandung. Saya pun mengevaluasi, karakter diri kami masing-masing dan pola pikir kami, yang pastinya terbentuk dari didikan keluarga dan lingkungan kami dibesarkan dan berkembang. Pastinya harapan semua orangtua, agar anak-anaknya memiliki karakter dan kemampuan yang lebih baik dari orangtuanya, serta kesempatan yang lebih baik dari kami orangtuanya.

Akhirnya saya pun sampai pada kesimpulan, jika ingin anak menjadi lebih baik dari kita sebagai orangtuanya, maka kita pun harus berpikir bukan hanya berdasarkan kemauan/kebutuhan/keinginan kita saja, tetapi juga harus dipahami dan diketahui kebutuhan apa yang harus kita penuhi bagi si anak agar menjadi penerus keturunan kita yang lebih baik dari kita sebagai orangtuanya. Tetapi semua itu juga harus merujuk pada diri kita sendiri, dan dengan melihat karakter si anak. Masa’ sih kita sebagai orangtua ga bisa melihat kecenderungan anak kita seperti apa…  Maksud saya kira-kira begini, kalo kita saja tidak mampu melakukan suatu hal, ada kemungkinan anak kita pun ga mampu melakukan hal tersebut, jadi jangan paksakan dia untuk bisa. Mungkin hal lain dia bisa lakukan. Lalu, dasar dalam memilih SD bagi anak, jangan hanya berdasarkan alasan-alasan ga penting seperti alasan-alasan saya sebelumnya, yaitu jarak sekolah kerumah, kebonafitan nama sekolah tersebut dan biaya sekolah. Khusus poin terakhir, bagi keluarga kami ini poin penting. Tetapi jika mampu kenapa harus hitung-hitungan untuk investasi dunia akhirat yang kita tanamkan kan? :)  Tetapi juga adalah salah bagi kami selaku orangtua, jika alasan utama memasukkan anak ke sekolah ternama, hanya semata karena alasan kebonafitan sekolah tersebut. Urutkan benefit-benefitnya dari yang paling penting, hingga yang tidak penting dan namai benefit yang ga penting itu sebagai bonus.

Percayalah, sekolah ternama TIDAK akan bermakna apa-apa bagi pribadi yang tidak bisa memanfaatkan nama besar sekolahnya. Sebaliknya sekolah tidak ternama sekalipun akan menjadi bermakna (bernama) ketika lulusannya adalah orang yang pintar bergaul, cerdas dalam memanfaatkan kesempatan dan pastinya ulet serta gigih dalam memperjuangkan apa yang menurutnya baik. Hehehe.. pengalaman pribadi nih.. Ga bo’ong loh akuh.. :p

Tidak ada komentar:

Mendidik Anak Untuk Bahagia

Add caption Beberapa hari lalu, tepatnya pas anak-anak didik saya di SFC Kids Futsal latihan, ceritanya saya membagikan piala yg sudah ...