Tiba-tiba teringat pembicaraan segerombolan ibu-ibu yang
nampaknya sedang sarapan sambil menunggui anak mereka yang sekolah TK di
sekitar tempat saya biasa membeli bubur ayam, beberapa hari lalu. Bukan
bermaksud menguping, tapi memang karena suara mereka cukup kencang dalam “berdiskusi”
tentang SD-SD yang sedang menjadi target mereka. Karena nampaknya putra-putri
mereka tahun ini akan segera memasuki jenjang Sekolah Dasar. “Sekolah ini
pendidikannya bagus bu, anak-anak ini selain belajar pelajaran umum, juga diwajibkan
hapal surat-surat Alquran yang akhirnya saat lulus SD mereka bisa hapal
Alquran, bla..bla..” kata salah seorang ibu dengan berapi-api.
Saya hanya mendengarkan saja, tanpa berkomentar. Ya iyalah..
kalo tiba-tiba saya komentar, diteriakin sama tuh ibu-ibu,” Siapa lo..??”
*LOL* Lalu ternyata beberapa teman saya
juga ternyata sedang sibuk memilih SD untuk putra-putrinya. Saya pun teringat
pula akan diskusi saya beberapa minggu lalu dengan suami, terkait rencana
menyekolahkan anak. Karena putra kami yang pertama, Jamael Nadeem (4,5 thn),
tahun depan pun Insya Allah akan memasuki jenjang Sekolah Dasar pula. Ceritanya
saya sebagai ibunya anak-anak sudah punya pilihan dan rencana dalam memilih SD
untuk anak. Sebuah SD Istec yang ga jauh dari rumah, yang secara nama tanpa
embel-embel Istec-nya, sekolah ini cukup bernama. Pertimbangan saya, selain
lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah, nama SD tersebut cukup familiar di telinga,
dan (sepertinya) biaya masuk dan bulanan sekolahnya tidak terlalu mahal dan
seterusnya.
Ketika saya dan suami berdiskusi, saya sampaikan rencana
saya tersebut dengan segala alasan dan planning jangka panjangnya. Biasanya,
untuk urusan anak, suami saya tuh ga banyak komentar dan cenderung lebih ikutan
aja dengan rencana saya, karena menurut suami, saya dianggap lebih paham urusan
rumah dan anak-anak. Tetapi diluar dugaan, kali ini ternyata suami saya berbeda
pandangan dengan saya. Suami ga menolak ide saya sih, tapi dia menambahkan opsi
bagi kami untuk pendidikan anak kami. Dia menambahkan opsi sebuah sekolah Islam
yang sudah terkenal dimana-mana, dengan jaringannya yang juga luas. Sekedar
diketahui, saya sempat terpikir ingin menyekolahkan anak-anak disana, tapi
mengingat (katanya) mahalnya biaya masuk sekolah tersebut, dan gaya
pergaulannya yang agak borjuis, membuat saya mencoret sekolah tersebut dalam
opsi pilihan sekolah anak. “Aduuh bu, mending ga usah kesana deh.. disana
pergaulannya ga bagus, soalnya kebanyak anak-anak borju yang sekolah disana, kalo
liburan minimal ke singapur, trus ditanyainnya sekolahnya diantar pake apa.. Ga
bagus buat perkembangan mental anak bu.,.” begitu kira-kira kata tetangga saya tahun
lalu, saya diskusi soal sekolah anak.
Dan hal itu pun saya sampaikan ke suami, sebagai bentuk
argumentasi saya dalam menanggapi keinginannya untuk menambahkan sekolah Islam
ternama tersebut dalam opsi pilihan SD Nadeem nanti. Suami saya bilang,
alasan-alasan penolakan saya atas SD Islam ternama dan terbesar itu memang
benar, tapi dibalik semua alasan tersebut, suami saya pun punya alasan-alasan
yang jauh lebih penting dari sekedar alasan yang sebetulnya ga penting
sih.. Kesempatan! Itu alasan suami saya dalam memilih sekolah tersebut.
Menurutnya, dia ingin putranya bersekolah di sekolah yang memberikan banyak
peluang dan kesempatan bagi putra kami kelak, sekolah yang memberikan
keuntungan bagi CV putra kami kelak, sekolah yang memberikan pendidikan tidak
hanya sekedar pendidikan berbasis kurikulum, tetapi juga pelajaran nilai
kehidupan yang hanya bisa dipelajari dengan mengalaminya langsung dan untuk
anak usia SD, tentunya memang harus selalu dalam pantauan orangtuanya, yaitu
saya sebagai ibunya.
Soal pergaulan yang borjouis, diantar sekolah harus pakai
mobil, liburan sekolah keluar negeri, menurut suami saya, itu hanya hal-hal
kecil yang sifatnya duniawi dan harus bisa kami ajarkan ke anak-anak kami untuk
tidak menjadi tolak ukur dalam menilai pribadi seseorang. Ketika kami yang dari
keluarga biasa-biasa saja, bisa bertahan dan mengajarkan anak-anak kami dari
terpaan nilai-nilai sosial yang sangat sempit ruangnya tersebut, disitulah
keberhasilan kami sebagai orangtua dalam mendidik anak. Karena putra kami
nantinya tidak hanya menjadi murid yang pintar secara akademis, tetapi juga
pintar sebagai mahluk sosial-yaitu Pandai bergaul, tanpa harus memandang
strata, jabatan dan kelas ekonomi keluarga temannya. Subhanallah.. saya cukup
kaget dengan pandangan yang disampaikan suami saya, tidak pernah terpikir hal-hal
tersebut sebelumnya. Dan saya anggap 100% benar pandangan tersebut, tetapi saat
itu saya tidak menanggapi pandangan yang disampaikan suami saya. Tetapi saya
memikirkannya dan mencoba memaknai apa yang jadi pemikiran suami saya saat itu.
Akhirnya saya merasa, saya terlalu picik dan dangkal pikirannya saat memutuskan
SD pilihan bagi anak kami. Dasar-dasar pemikiran yang saya pakai, semuanya
hanya memikirkan dari kebutuhan saya sebagai orangtua, tetapi tidak mewakili
kira-kira apa yang dibutuhkan putra kami dalam menyongsong masa depannya kelak.
Well, saya dan suami juga pernah di bangku sekolah, kami
masing-masing pun punya pengalamannya masing-masing. Saya misalnya, sejak SD
hingga SMA lingkungan sekolah saya tidak keluar dari satu rute tersebut,
kecuali saat kuliah yang akhirnya benar-benar jauh dari rumah karena diluar
kota. Sementara suami punya kisah lain, suami sejak SD sering berpindah-pindah
sekolah. SD-nya sempat di Padang, lalu Jakarta dan Palembang. SMP-nya di Jambi,
SMA di Palembang dan kuliah di Bandung. Saya pun mengevaluasi, karakter diri
kami masing-masing dan pola pikir kami, yang pastinya terbentuk dari didikan
keluarga dan lingkungan kami dibesarkan dan berkembang. Pastinya harapan semua
orangtua, agar anak-anaknya memiliki karakter dan kemampuan yang lebih baik
dari orangtuanya, serta kesempatan yang lebih baik dari kami orangtuanya.
Akhirnya saya pun sampai pada kesimpulan, jika ingin anak
menjadi lebih baik dari kita sebagai orangtuanya, maka kita pun harus berpikir
bukan hanya berdasarkan kemauan/kebutuhan/keinginan kita saja, tetapi juga
harus dipahami dan diketahui kebutuhan apa yang harus kita penuhi bagi si anak
agar menjadi penerus keturunan kita yang lebih baik dari kita sebagai
orangtuanya. Tetapi semua itu juga harus merujuk pada diri kita sendiri, dan
dengan melihat karakter si anak. Masa’ sih kita sebagai orangtua ga bisa
melihat kecenderungan anak kita seperti apa…
Maksud saya kira-kira begini, kalo kita saja tidak mampu melakukan suatu
hal, ada kemungkinan anak kita pun ga mampu melakukan hal tersebut, jadi jangan
paksakan dia untuk bisa. Mungkin hal lain dia bisa lakukan. Lalu, dasar dalam
memilih SD bagi anak, jangan hanya berdasarkan alasan-alasan ga penting seperti
alasan-alasan saya sebelumnya, yaitu jarak sekolah kerumah, kebonafitan nama
sekolah tersebut dan biaya sekolah. Khusus poin terakhir, bagi keluarga kami
ini poin penting. Tetapi jika mampu kenapa harus hitung-hitungan untuk
investasi dunia akhirat yang kita tanamkan kan? :)
Tetapi juga adalah salah bagi kami selaku orangtua, jika alasan utama
memasukkan anak ke sekolah ternama, hanya semata karena alasan kebonafitan
sekolah tersebut. Urutkan benefit-benefitnya dari yang paling penting, hingga
yang tidak penting dan namai benefit yang ga penting itu sebagai bonus.
Percayalah, sekolah
ternama TIDAK akan bermakna apa-apa
bagi pribadi yang tidak bisa memanfaatkan nama besar sekolahnya. Sebaliknya sekolah tidak ternama sekalipun akan menjadi bermakna (bernama) ketika
lulusannya adalah orang yang pintar bergaul, cerdas dalam memanfaatkan
kesempatan dan pastinya ulet serta gigih dalam memperjuangkan apa yang
menurutnya baik. Hehehe.. pengalaman pribadi nih.. Ga bo’ong loh akuh.. :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar