Entah kenapa malam ini, saya tergerak untuk menulis ini. Ceritanya udah larut malam, suami belum pulang karena ada pekerjaan yang ga bisa ditinggalkan. Iseng karena saya belum mengantuk, pikiran melayang ke masa kecil saya dulu, lalu menghubungkan dengan kondisi saya hari ini, dimana sekarang saya pun sudah memiliki dua orang putra yang ganteng-ganteng, sehat dan aktif. Alhamdulillah..
Sedikit flashback ke masa kecil saya dulu. Saya dibesarkan di keluarga PNS yang berdomisili di kota Palembang, di tahun 80-an hingga 90-an, kota itu tidak pernah terjadi macet kalo ga karena ada kecelakaan. Alm. bapak saya, bisa pergi ke kantor jam 7.45 WIB dari rumah dan jam 5 sore sudah sampe rumah lagi. Kami tinggal di kompleks perumahan yang juga diisi oleh para PNS yang juga temen-temen kantor bapak saya. Anak-anaknya pun rata-rata sebaya dengan saya. Berbagai permainan tradisional dulu saya dan teman-teman saya mainkan. Mulai dari main kasti, cak ingkling, pantak lele, petak umpet lempar tumpukan kaleng, benteng, cabut (kalo di Jakarta dikenal dengan galasin), kelereng, dakocan, congklak dan banyak lagi. Kalo orang Palembang pasti ga asing dengan nama permainan-permainan ini.
Foto teman-teman kecil saya dulu, yang kiri foto lebaran 2014 lalu. Yang kanan foto tahun 1983. |
Orang tua saya pun saat saya masih kecil dulu mewajibkan saya dan adik-adik saya ikut TPA, ditambah guru ngaji privat ke rumah. Lingkungan rumah yang bersebelahan dengan mesjid pun membuat saya minimal setiap sholat magrib, itu sholat di mesjid. Masa kecil saya tomboy sekali. Menjelang beberapa menit sebelum adzan magrib, saya biasanya sudah nangkring di mesjid, bukan karena ga mau telat sholatnya. Tapi karena saya mau duluan megang kayu pemukul bedug! Hahahahaha.. iya bener, saya yang mukul bedugnya sebelum adzan dikumandangkan. Hayoo.. kamu masih kecil pernah ga mukul bedug? Sayangnya saya perempuan, ga boleh adzan. Kalo perempuan boleh adzan, saya mau juga tuh adzan.. suara saya lumayan loh kalo adzan. Hihihihi.. :p
Saya dan adik saya, dengan latar belakang si Vespa kesayangan |
Ini dia, kenangan masa kecil yang beredar lagi di FB ^_^ |
Hari ini, saya juga memikirkan masa kecil anak-anak saya. Saya sangat ingin anak-anak saya pun bisa memiliki masa kecil yang menyenangkan, yang tidak terlupakan dan membuat mereka berpikir bahwa mereka sangat beruntung. Beberapa hal yang saat kecil dulu saya alami atau lakukan, saya coba untuk juga saya hadirkan di kehidupan mereka. Seperti contoh naik angkot, waktu pertama naik angkot, anak saya bingung kenapa di mobil ada orang asing. Lalu naik bis, anak saya bolak balik nanya, kenapa bisnya ga jalan-jalan padahal di depan jalannya kosong, lalu mengeluh kepanasan."Mami, kok bisnya ga jalan-jalan sih, Nadeem kepanasan nih..", begitu dulu komentar Nadeem saat usia 4 tahun saya ajak naik bis kota yang non AC. Saya juga sebetulnya ingin anak-anak saya bisa merasakan suasana sore menjelang magrib di sekitar mesjid, biar mereka juga terbiasa sholat di mesjid. Sayang kondisi rumah kami yang cukup jauh dari mesjid membuat saya pun agak ga nyaman kalo membiarkan mereka sholat di mesjid tanpa saya dampingi.
Like Mother Like Son, hehehe maksa :p |
Sobat, inti dari tulisan saya kali ini. Pernahkan kita betul-betul memikirkan akan menjadi seperti apa anak-anak kita saat dewasa nanti? Apa feedback yang kita harapkan dari mereka saat mereka besar nanti? Sudahkah kita ada untuk mereka dalam kualitas waktu yang betul-betul berkualitas bagi mereka. Bukan hanya sering, tetapi juga bermakna untuk mereka dan dikenang selalu. Ada perbedaan yang saya liat antara orangtua jaman kita kecil dengan orangtua di masa kita sekarang. Orangtua jaman sekarang terlalu sibuk mencari uang, sehingga mungkin beberapa lupa bahwa anak tidak hanya butuh materi, tetapi juga perhatian, pengalaman berkegiatan bersama secara fisik alias kumpul bersama, dan juga tauladan dari orangtuanya. Contoh kecil, kalo ingin anak peduli sama kita, tentu dimulai dari kita ortunya yang harus peduli pada mereka. Kalo ingin anak sholat, tentu harus dimulai dari kita yang juga sholat, khususnya terlihat di mata mereka kita beribadah, sehingga anak mencontoh. Tapi kalo kita saat dirumah pun terlalu sibuk dengan gadget kita, membalas email, baca timeline social media dan update status selalu, maka anak pun juga demikian, mereka akan asyik dengan gadget yang juga kita belikan untuk mereka.
Benar kita harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita, pendidikan anak-anak kita dan lain-lain. Tapi bekerja lah dengan cerdas, jangan sampai sekedar kerja keras, tetapi tidak berhitung dengan waktu. Dengan gaji kamu hari ini, pernah menghitung berapa kamu dibayar sama kantormu perjam? Lalu berapa banyak waktu yang kamu sisakan untuk anak-anakmu? Kurangi lagi dengan waktumu dalam menerima telpon, membalas email dan buka-buka timeline social media. Apakah anak-anak pantas mendapatkannya..? Untuk yang masih single atau belum punya anak, dan memiliki kompetensi yang bagus, jangan hanya sekedar mencari pekerjaan, tetapi lebih baik kita memilih pekerjaan, pekerjaan yang masih tetap memberikan kita ruang untuk menjadi manusia "normal". Karena zaman sekarang di kota besar khususnya Jakarta, menurut saya sudah ga normal. Berangkat subuh, sampe rumah jam 8 malem paling cepet. Kalo hujan, pulangnya bisa lebih telat lagi karena macet dimana-mana. Lebih suka punya pilihan atau menganggap ga ada pilihan? Pilihan ditanganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar