Selasa, 14 Oktober 2014

Lebih Penting Mental Anak Indonesia atau si Zuckerberg?


Ilustrasi Kekerasan Pada Anak
 Akhirnya saya menulis juga tentang apa yang jadi pengalaman saya beberapa waktu lalu, lebih tepatnya tentang anak saya. Sejujurnya tadinya saya malu, dan ga ingin orang tau hal ini. Tapi untuk apa? Sekedar membuat saya dan suami terlihat sebagai orangtua sempurna dalam membesarkan dan mendidik anak? Well, saya berpikir, mungkin orangtua lain pun bisa mengalami hal yang sama, dengan kami, bahkan bisa jadi lebih. Tetapi mereka malu mengungkapkan, hingga akhirnya masalah menjadi berlarut-larut tanpa ada solusi dan malah memburuk. Ini pun akhirnya saya tulis karena saya betul-betul khawatir dengan perkembangan anak-anak di zaman sekarang. Khususnya karena munculnya berita tentang adanya seorang anak perempuan usia SD, dipukuli oleh teman-teman sekelasnya di Bukti Tinggi. Lalu dengar lagi dari seorang teman, ada sekumpulan anak SD menonton video porno dan lalu bercumbu massal selama video itu mereka lihat. Astaghfirullahal’adziiim.. Ya Allah, jujur mata saya berkaca-kaca menulis ini, dan berulang kali merinding membayangkan semua itu. Terbayang pula di pelupuk mata saya wajah-wajah tak berdosa kedua anak saya.. Nadeem (6thn) dan Haneef (3,5 thn). Bodo amat! Dengan kerjasama yang dilakukan Jokowi dengan Mark “Facebook”, atau Bullying terhadap kota Bekasi. BUat saya, masalah anak-anak yang semakin mengkhawatirkan ini jauh lebih penting dan (bisa) merupakan akar dari segala masalah yang belakangan ini sering timbul di masyarakat kita.

Ceritanya sekitar 2 minggu yang lalu, saya mengantar anak saya ke sekolahnya. Saya memang sesekali mengantar anak saya, tidak hanya mengantarnya hingga di depan sekolah saja. Sesekali saya sempatkan mengatarnya hingga masuk ke dalam kelasnya. Saat masuk kelasnya itu, banyak hal yang saya perhatikan, mulai dari meja belajar anak saya,  posisi kursi dia dari posisi gurunya mengajar, kebersihan lantai kelasnya, aktifitas teman-temannya saat di kelas jelang jam belajar mulai, lokernya anak saya (termasuk kerapian dan apa aja yang ada di lokernya), baru terakhir laporan perkembangan hafalan ayat pendek anak saya. Anak saya sekolah di SDIT, sehingga ada hafalan ayat pendek yang setiap hari harus mereka baca ulang, dan bagi yang hafal, disamping namanya akan diberikan tanda Mr.Smile, sebagai tanda bahwa dia sudah hafal hingga surat tersebut. Tetapi terus terang, saya ga terlalu ambil pusing ketika melihat ternyata anak saya termasuk yang tanda Mr. Smile-nya masih sedikit, dibandingkan teman-temannya, yang sudah hampir setengahnya mereka hapal. Tentu itu menjadi pengetahuan saya, untuk membantu anak saya dalam menghapalnya saat dirumah bersama saya. Tetapi saya ga ingin memaksakan anak saya, karena bagi saya usia 6 thn, lebih penting menumbuhkan minatnya, dan memberikan pemahaman kenapa dia harus bisa dan hapal. 

Singkatnya, setelah puas mengecek segala hal tersebut di dalam kelas saya pamitan ke anak saya untuk pulang, dan lanjut mengantarkan adiknya yang juga akan berangkat sekolah. Saat diluar kelas, saya bertemu dengan seorang teman akrabnya sejak TK yang juga saya kenal. Iseng saya sapa dia, dan bertanya tentang anak saya. Mulanya temannya ini hanya senyum-senyum saja. Lalu saya pancing dengan pertanyaan menggiring,"Nadeem di sekolah gimana Cello? Nakal ga..?". Setelah cukup lama senyum-senyum seperti ga mau ngasih tau saya, akhirnya dia bercerita,"Nadeem suka nakal, dia suka minta uang sama kakak kelas..". Seperti kesetrum listrik daya kecil rasanya waktu dengar cerita itu. Saya berusaha tetap senyum di depan temannya anak saya, kebetulah ga berapa lama anak saya keluar kelas dan menghampiri saya. Dia datang ke saya dengan wajah riang sambil menggenggam 2 bungkus permen jeli di tangannya. Saya langsung menegur anak saya,"Nadeem, emang bener kamu suka minta uang sama kakak kelas kamu??". Anak saya dengan wajah bingung, hanya diam saja mendengar pertanyaan saya. Saya ulangi lagi pertanyaan yang sama, dan saya mulai melihat anak saya terlihat tidak nyaman dengan apa yang saya lakukan ke dia. Karena saya kenal anak saya, saya melihat dia seperti berusahan menahan diri supaya tidak menangis di depan teman-temannya. Untunglah saya pun langsung sadar, saya ga boleh mempermalukan anak saya di depan teman-temannya. Lalu saya rangkul anak saya, saya ulang pertanyaan yang sama tetap dengan nada yang lebih bersahabat dan sedikit berbisik. Dia pun mengangguk. Segera saya bilang saat itu juga, bahwa itu hal yang ga benar dan tidak boleh diulangi lagi. Saya katakan ke anak saya, "nanti dirumah kita ngobrol lagi ya nak..". 

Lalu melihat 2 permen jelly yang dia pegang, saya pun bertanya lagi darimana dia dapat permen itu, karena saya tidak membekalinya dengan permen jelly. Dia katakan bahwa itu dikasih oleh seorang teman perempuannya. Saya pun menegaskan lagi,"Bener dikasih? Bukan maksa mintanya..?". Anak saya terlihat bingung, dan dengan konsisten dia kembali bilang bahwa dia betul-betul dikasih. Lagi-lagi untungnya saya segera sadar, saya ga boleh menuduh anak saya secara sepihak, saya harus berikan kepercayaan padanya. Saya pun kembali melunak dan kembali saya ingatkan untuk tidak lagi meminta sesuatu ke teman-temannya, apapun itu. Dia pun mengiyakan apa yang saya sampaikan. 

Sepulang dari sekolah anak saya, saya betul-betul kepikiran dengan apa yang dikatakan temannya tadi. Saya mengingat-ingat, kira-kira kenapa dia bisa begitu? siapa yang dia contoh? Rasanya saya tidak pernah membiarkan anak saya nonton sinetron. Dan rasanya lagi, anak saya ga mungkin bersikap kasar ke teman-temannya. Lalu saya pun teringat, waktu awal-awal sekolah, Nadeem pernah cerita bahwa dia dikasih uang sama kakak kelasnya. Saya tanyakan ke dia, kenapa kok dikasih uang sama kakak kelas, dia pun jawab," Ga tau, tau-tau dia kasih uangnya ke Nadeem 2000". Waktu itu saya cuma bilang ke dia, untuk lain kali jangan mau dikasih-kasih orang uang, apalagi kalo kamu lalu disuruh-suruh sama dia (Waktu itu, lagi rame-rame kasus pelecehan seksual di anak, jadi saya takut banget!). Lalu di lain waktu, anak saya juga bercerita bahwa dia punya temen kakak-kakak kelas, di jam istirahat, dia suka diajakin main futsal bareng. Hingga saya pun menyimpulkan anak saya ini cukup supel untuk bisa diterima di lingkungan sekolahnya yang baru. Kembali saya berpikir, berusaha mengevaluasi, kira-kira kenapa anak saya bisa sampe meminta uang ke kakak kelasnya, seperti cerita temannya ke saya tadi. 

Akhirnya saya teringat dengan pergaulan dia di rumah. Kami tinggal di sebuah perumahan kecil di Bekasi, yang warganya memiliki anak yang rata-rata juga sebaya dengan anak saya. Sejak TK anak-anak saya dibiasakan ada jam bermain di luar rumah, khususnya sore hari. Dulu, beberapa kali saya melihat bagaimana perlakuan teman-temannya dirumah terhadap anak saya. Teman-temannya ini cukup berani dan ga pake malu-malu kalo minta sesuatu ke apa yang sedang dipegang atau dimakan oleh anak saya. Waktu itu yang sempat saya lihat adalah, anak saya makan roti, tiba-tiba teman-temannya langsung bilang, "eh bagi dong..". Tanpa menunggu jawaban dari anak saya, mereka udah langsung menggigit roti yang dipegang anak saya, sampe anak saya pun melepas rotinya untuk digilir sama teman-temannya. Saat itu saya langsung panggil anak saya, saya suruh pulang. Dirumah, saya kasih pengertian ke anak saya, supaya lain kali kalo dia makan roti, temennya minta, dia harus tegas untuk bilang boleh atau tidak. Saya katakan ke dia, supaya dia pun tidak boleh pelit, tapi jangan sampai rotinya langsung mereka gigit secara bergantian begitu, saya bilang ke anak saya untuk dia memotong rotinya jadi beberapa bagian, itu yang diberikan ke teman-temanya. Karena ini demi  kebersihan dan kesehatan semuanya kan. 

Di lain waktu, saya pun pernah kasih uang jajan ke anak saya yang minta jajan sore-sore. Karena ga ada uang receh, saya kasih anak saya uang Rp 5.000, saya bilang ke dia ini bagi dua sama adiknya, dan harus ada kembalian ke saya. Ternyata, pas sampe rumah saya tanyakan kembaliannya, dia bilang habis. "Tadi pas lagi jajan, si Anu minta uang Mi, katanya dia juga pengen jajan.. Ya Nadeem kasih aja..". Satu sisi saya kesal, karena kok anak itu enak aja ya mintain uang anak saya, Tapi sisi lain saya merelakannya karena disitu anak saya belajar untuk mau berbagi dengan temannya (semoga anak itu mintanya dengan cara baik-baik dan anak saya pun memberikan dengan ikhlas). Lalu pernah juga beberapa waktu lalu saya mergokin temen-temen anak saya dirumah ini, memakan makanan kecil yang sebetulnya saya hidangkan untuk tukang yang sedang kerja di rumah kami. Eh mereka dengan santainya makan makanan itu, lalu minum air yang juga ada disitu. Karena pas saya dirumah dan melihat, langsung juga saya tegur anak-anak itu. 

Akhirnya saya pun menemukan "benang merahnya" antara apa yang dilakukan anak saya disekolah dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum-sebelumnya. Anak saya memang salah karena sudah minta uang sama kakak kelasnya, tapi tenyata anak saya pun tidak berpikir bahwa itu adalah hal yang salah. Pemikiran itu pun muncul karena anak saya juga suka dimintain uang sama temen-temennya di rumah, dan dia tidak merasa bahwa itu hal yang salah. Sehingga tanpa disadarinya, apa yang biasa diterimanya dirumah dia lakukan di sekolah. *Tarik nafas panjang*  Ya itulah anak-anak, apa yang mereka lihat-dengar-rasakan, tanpa disadari masuk ke alam bawah sadar mereka dan tercermin dari sikap dan perilakunya. Beruntung pekerjaan saya hari ini, bisa memberikan ruang bagi saya untuk bisa melakukan checky-checky bagi kegiatan anak-anak saya.
Kedua buah hati saya, Nadeem (kiri) dan Haneef (kanan). Wajah Tanpa Dosa yang selalu saya rindukan.
Ternyata tugas kita sebagai orangtua memang sangatlah berat. Memasukkan mereka ke sekolah terbaik pun belum menjamin perilaku mereka akan baik. Orangtuanya harus tetap proaktif mencari tau tentang anak, bukan hanya dari guru, tetapi juga teman-temannya, sopir jemputannya, mbaknya dirumah dan tentunya dari pengamatan keseharian kita terhadap anak. Pahami bahasa tubuh dan ekspresi anak kita. Munculkan kepercayaan anak terhadap kita, karena ketika mereka percaya sama kita, mereka pun merasa tidak ada yang perlu ditutup-tutupi alias mereka akan jujur sama kita. Kejujuran itu terkadang pahit, tetapi itu lebih baik, karena dengan itu kita tau harus memperbaikinya mulai dari dini. Semoga anak-anak kita selalu dalam lindungan Allah SWT.. Aamiin..

Tidak ada komentar:

Mendidik Anak Untuk Bahagia

Add caption Beberapa hari lalu, tepatnya pas anak-anak didik saya di SFC Kids Futsal latihan, ceritanya saya membagikan piala yg sudah ...