Selasa, 28 Mei 2013

Lomba Model Anak Sarana Tambah Wawasan Anak

Beberapa hari lalu anak saya Jamael Nadeem Omero (5 thn) sudah selesai mengikuti babak Grandfinal Gading Models Search Kids Category-nya JF3 (Jakarta Fashion & Food Festival) 2013. Tepatnya di Mal Kelapa Gading Jakarta, Minggu 26 Mei yang lalu. Ada hal yang saya cermati dan pelajari dari kegiatan itu. Pastinya adalah betapa bangganya saya akan anak saya Nadeem yang sudah berani menyelesaikan "pertarungan" hingga selesai, meski saya tau pasti anak saya nervous. Ya iyalah.. ini merupakan kali kedua dia tampil di depan hampir 1000 orang secara single fighter. Karena waktu babak penyisihan, kebetulan Nadeem bersama dengan 4 orang temannya yang lain, sehingga mungkin dia tidak terlalu gugup. Sementara di babak Grand Final kali ini dia benar-benar sendiri.

Sejak awal datang, saya betul-betul memberikan ruang baginya untuk beradaptasi dengan panggungnya yang megah, dengan lingkungan sekitarnya (karena semua anak-anak yang ada disana tidak ada satu pun yang dia kenal) dan pastinya dengan dirinya sendiri, yaitu bagaimana dia membuat dirinya merasa nyaman dengan semua situasi saat itu. Seperti biasa, anak saya tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan hanya dalam beberapa menit saja, dia juga sudah akrab dengan beberapa peserta lain yang juga bermain disana. Saat panitia mulai mengundang anak-anak untuk menduduki kursi peserta, saya pun membiarkan dia sendiri, tanpa ikut campur. Karena saya pikir sudah ada panitianya yang mengatur dan saya pun cukup mengawasinya dari jauh saja. Pada saat itu, Nadeem masih terlihat tenang saja, masih bisa tertawa dan bercanda dengan peserta lainnya.
Nadeem (tengah) posturnya paling kecil diantara peserta lainnya.

Bisa dibilang yang nervous malah saya dan mama saya yang juga sengaja hadir untuk melihat penampilan cucu sulungnya ini. "Kak, kenapa sih Nadeem ga dipakein kostum juga kayak anak-anak yang lain, kan bagus-bagus tuh bajunya.. Kan kasian Nadeem, dia doang yang bajunya biasa aja..", begitu kata mama saya begitu melihat penampilan peserta-peserta lain yang bisa dibilang niat banget, hehehe...  Saya pun cuma menjawab,"Iya tenang aja ma.. kakak niatnya memang bukan untuk Nadeem menang atau kalah, kakak pengen liat keberanian Nadeem untuk tampil didepan umum dengan apa adanya dia". Eh tapi behind the scene nih ceritanya, beberapa saat setelah Nadeem tampil, saya dipanggil panitia, katanya anak saya nangis. Setelah saya tanya kenapa, dia jawab,"Nadeem lapeerr.." hahahaha.. iya pasti laper ya, soalnya saat itu udah jam 2an dan dia emang belum makan siang.
Nadeem saat berjalan di Catwalk GMS Kids JF3 2013
Jamael Nadeem Omero (5th) saat Gladi Resik sebelum lomba mulai.
Nadeem saat babak penyisihan di La Piazza Kelapa Gading
Nadeem (kiri) bersama salah satu temannya saat babak penyisihan di La Piazza Kelapa Gading.

Memang sih, kalau selintas orang mungkin berpikir saya ngedaftarin anak ikut lomba model biar anaknya jadi model, masuk tv or majalah, jadi bintang iklan dan seterusnya. Well, itu salah. Motivasi saya untuk mendaftarkan anak ikut lomba modelling adalah, ingin memberikan pengalaman dan wawasan bagi anak saya. Agar ruang lingkup pemahaman dan wawasannya tidak terbatas. Karena jujur aja, saya dulu sampe mau kuliah, jurusan kuliah yang akan saya pilih cuma 2 yang saya minati, manajemen ekonomi dan hukum. Karena merasa ga ada pilihan saya pun berniat memilih manajemen. Alhamdulillah, ketemu dengan om yang berhasil "mengorek" minat saya dan menunjukkan jurusan yang memang tepat dengan minat saya yaitu Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Jurnalistik. Cita-cita pun waktu itu saya ga begitu banyak tau profesi pekerjaan. Terbatas pada pengetahuan PNS atau pegawai swasta. Padahal pegawai swasta itu banyak banget yaa...

Atas pengalaman itulah, saya ingin memberikan pengetahuan dan wawasan yang seluas-luasnya bagi anak saya yang masih usia dini ini. Saya ingin anak-anak saya kelak sejak usia dini sudah tau mereka ingin menjadi apa dan bagaimana untuk mencapai cita-cita mereka. Yaa.. kalo yang pernah dengar talkshow-nya Ayah Edi, anak harus diberikan wawasan dan motivasi agar mereka mau belajar dan berusaha mencapai apa yang jadi cita-cita dan keinginan mereka.

Kembali ke anak saya yang sudah berhasil menyelesaikan Grand Final lomba modelling GMS Kids JF3 2013. Sejak awal anak saya adalah pemenang buat saya.. hahahaha, ini cara klise emak-emak untuk nyenengin hati kalo anak ga menang. Eh tapi serius loh.. niat mendaftarkan Nadeem ikut lomba adalah biar dia punya pengalaman. Sebelum mendaftar pun, anaknya saya tanya dulu, dan dia pun bertanya balik ke saya apa itu lomba modelling. Setelah dijelaskan dan dikasih liat berbagai foto dan video modeling, dia tertarik dan mau ikut. Bahkan dia juga yang nanya bolak balik kapan lombanya mulai.

Intinya, saya betul-betul bangga dan terharu melihat anak sendiri yang baru umur 5 tahun 1 Mei lalu, berani tampil apa adanya, ga ada rasa minder dengan peserta yang lain meski wardrobe-nya biasa banget dibanding peserta lain yang heboh dan mewah. Saya ingat, dulu waktu saya TK, saya juga pernah diikutsertakan lomba menyanyi, begitu menjelang giliran saya, saya nangis merengek ke guru saya, untuk tidak usah tampil karena saya takut. Saking gugupnya saya menangis sampe sesenggukan dan gemeteran. Akhirnya saya pun ga jadi tampil di lomba itu. Untungnya guru saya ibu Mus (kalo guru baek pasti diinget sama muridnya :D), dengan bijaknya membujuk saya untuk tidak perlu menangis, bahkan saya diantar pulang langsung pake motornya si ibu. Kejadian grogi dan gugup naik panggung itu, masih saya alami hingga SMA. Makanya saya begitu takjubnya melihat anak sendiri bisa sebegitu tenangnya menjalani semua tahap lomba, meski saya tau betul anak saya juga grogi.

Inti dari tulisan saya ini adalah agar kita sebagai orangtua tidak terjebak dengan keinginan dan cita-cita kita pribadi. Kalo kata orang obsesi emaknya ga kesampean, anaknya yang disuruh nerusin.. hihihihi.. Insya Allah saya pun juga ga kejebak, tetap dengan niat dan tujuan untuk menjadikan anak cerdas, bukan sekedar pintar diatas kertas, tetapi cerdas secara emosional dan juga IQ-nya. Semoga tulisan saya bisa memberikan motivasi bagi para orangtua lainnya.






Selasa, 21 Mei 2013

Persepsi Keliru Soal Pembantu

Pagi tadi, dari dalam rumah sayup-sayup terdengar suara percakapan pembantu tetangga dengan anak bungsu saya Hanif (2 thn), yang kira-kira kalo saya buatkan transkripnya seperti ini :

PRT     : Hanif, udah ganteng nih.. udah mandi ya..?
Hanif   : Iya udah..
PRT     : Siapa yang mandiin..?
Hanif   : Mami..
PRT     : Kok mami, emang mbaknya kemana..?
Hanif   : Ada kok..

Hanif, 2 Thn.
Menurut Anda, ada yang salah ga dengan percakapan anak saya dengan salah seorang pembantu tetangga saya ini? Ehhmm.. mungkin sekilas ga ada yang salah ya.. :) tapi buat saya pribadi memang tidak ada yang salah, tetapi ada yang keliru. Kenapa saya bilang keliru? Coba aja baca komentar si pembantu saat anak saya menjawab yang mandiin dia adalah saya ibunya sendiri, oleh si PRT itu malah ditanggapi kok mandi sama mami, padahal kan ada pembantu yang bisa disuruh. Ya terlepas dari si PRT itu mungkin ga ada tendensi maksud apa-apa selain sekedar menyapa anak saya.

Tetap hal ini menjadi menarik perhatian saya, bahwa ternyata di lingkungan kita saat ini memang ada kemunduran persepsi, kalau boleh saya bahasakan demikian. Kenapa saya anggap kemunduran..? Karena sepertinya ada kesan, jaman sekarang tuh kalo punya pembantu tapi kalo kita sebagai majikan masih ngerjain urusan rumah, seperti momong anak, nyapu, ngepel dan masak sendiri, itu tuh jadi percuma pake pembantu. Padahal kalo mau dipikirkan dengan jernih, kata Pembantu itu artinya orang yang membantu, yaitu membantu kita dirumah, meringankan perkerjaan rumah kita sehingga ga semua dikerjakan sendiri. Artinya, bagi saya pembantu yang memang berfungsi untuk membantu saya membereskan rumah dan momong anak-anak saya, di saat saya tidak sempat dan tidak bisa. Ketika waktu luang, saya pun memanfaatkannya untuk momong anak-anak agar lebih dekat dengan mereka, salah satunya dengan memandikan dan menyuapi mereka makan. Lalu sesekali saya menyempatkan diri untuk membersihkan sendiri rumah, seperti menyapu dan mengepel, karena namanya pembantu, kadang kerjaannya asal beres saja kan. Sehingga saya selaku pemilik rumah juga ingin mendapatkan hasil sempurna yang mungkin itu ga bisa saya dapatkan kalau tidak saya kerjakan sendiri. Apakah itu salah? Keliru?

Buat saya jawabannya tidak! Tetapi ternyata banyak orang diluar sana yang beranggapan itu salah, itu keliru. "Ngapain kita gaji dia mahal-mahal kalo masih  kita juga yang ngerjain..", kira-kira begitu kata salah satu teman saya menanggapi masalah pembantu. Hal yang ingin saya sampaikan adalah, terkadang kita terlalu "tunduk" kepada pembantu, sangat takut kehilangan pembantu, tapi ketika ada kadang-kadang mereka diperlakukan seperti robot, disuruh-suruh terus, seperti yang ga rela kalo liat PRT-nya ga ada kerjaan atau istirahat. Jadi kayak seolah-olah bisa mati kalo ga ada pembantu. hehehehe.. lebay kalo gitu mah..

Ya sekedar mengingatkan saja, agar kita para perempuan, para ibu yang juga mungkin sekaligus ibu bekerja, tidak lupa akan kodratnya untuk mengurus anak dan mengurus rumahnya. Jangan sampai alasan mencari uang untuk menambah kebutuhan keluarga sekaligus membantu meringankan beban suami, dijadikan tameng untuk tidak mengurusi dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Padahal justru itu lah kewajiban seorang ibu. Bahwa dia juga bisa sekaligus bekerja, itu menjadi pahal tambahan baginya. Saat-saat memandikan anak, menyuapi anak, itu adalah moment yang dapat mendekatkan dan menghangatkan hubungan antara orangtua dan anaknya. Sementara membersihkan rumahnya sendiri, itu adalah momen untuk kita mengecek kondisi dan keadaan rumah. Masa' ngaku rumah sendiri, tapi posisi penyimpanan palu dan obeng ga tau, dan harus tanya pembantu. Ayo jeng, kita perbaiki persepsi yang salah..

Selasa, 07 Mei 2013

Jangan Egois Jadi Ortu Kalau Mau Anak Lebih Sukses Dari Kita (part 2)

Barangkali ada yang sempat baca tulisan saya yang part 1-nya, mengenai pandangan saya akan pemilihan sekolah untuk anak, yang belum sempat baca (mungkin) ada baiknya baca dulu dengan meng-klik link berikut : http://www.katadenita.blogspot.com/2013/02/jangan-egois-jadi-ortu-kalau-mau-anak.html

Kenapa di tulisan saya kali ini saya berikan judul yang sama dengan tulisan saya terdahulu, hanya ditambahkan part 2 saja? Karena seiring dengan waktu, pengetahuan dan pemahaman saya pun berkembang. Ceritanya putra sulung saya, Nadeem (5 thn) ceritanya tahun ini akan duduk di kelas TK B. Sebelumnya sudah bersekolah di sebuah sekolah swasta franchise yang memiliki konsep yang menurut saya bagus dan pas dengan apa yang saya dan suami cita-citakan dalam mendidik dan mengarahkan putra kami. Namun, seiring dengan berjalannya waktu pula, kami berdua khususnya saya yang sehari-harinya memang sangat fokus terhadap perkembangan kedua putra kami, mengevaluasi bahwa saat ini sekolah tersebut sudah tidak bisa mengakomodir apa yang jadi kebutuhan kami selaku orangtua dan juga putra kami selaku siswa disana.

Pemikiran tersebut membuat saya teringat diskusi saya dengan suami saya. Suami saya Deni, pernah bilang ke saya, bahwa sekolah di zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan zaman dulu pada saat angkatan kami. Zaman sekarang, sekolah itu sudah menjadi industri yang sifatnya mencari untung, baik itu swasta maupun negeri. Tetapi mungkin industri itu lebih terasa di lingkungan sekolah swasta. Nah, suami saya beralasan, jaman sekarang semua orang bisa buat sekolah asal punya modal dan tenaga pengajar, dengan segala positioning dan branding yang mereka tawarkan melalui brosurnya. Artinya apa? Kita harus hati-hati dengan sekolah-sekolah yang menawarkan berbagai konsep pengajaran yang terdengar sempurna, tanpa cacat. Karena terkadang idealisme dan kreatifitas tenaga pengajar yang minoritas, dapat tergusur dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh yayasannya yaitu pemilik modal, yang mendanai kegiatan sekolah, yang menggaji tenaga pengajar. Jika sudah demikian, maka saya selaku orangtua sudah waktunya mengevaluasi, segala benefit kami selaku pengguna jasa, apakah masih sama persepsinya akan benefits sekolah disana seperti saat awal memutuskan memilih sekolah tersebut.

Suami saya bilang ke saya, kira-kira begini dia bilang, "Selama ada uang, sekolah mana saja bisa kita daftarkan anak kita. Tetapi kita harus punya tujuan dulu, kita mau MENGARAHKAN atau MEMBENTUK si anak..? Kalau mau mengarahkan tentu kita cari sekolah yang memiliki banyak fasilitas, kegiatan dan konsep yang terbuka atau yang tidak memaksakan anak, karena biar anak yang memilih. Tetapi jika ingin membentuk, tentu pilihannya ya sekolah-sekolah yang seperti pesantren, karena disana kedisiplinan sangat ketat. Dari bangun subuh hingga tidur malam, mereka sudah diatur jadwalnya. Dengan rutinitas yang seperti itu, tentu akan terbentuk kedisiplinan itu".


Dan di usia anak 0 hingga 5 tahun adalah Golden Age, yaitu usia dimana anak sangat mungkin untuk DIBENTUK dengan cara dibekali berbagai keteladanan yang baik, yang bagi kami yang dari keluarga muslim, tentunya keteladanan yang sesuai dengan syariah agama dan pastinya norma sosial yang berlaku di masyarakat. Seperti disiplin waktu, sopan santun, sikap sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dll. Hal-hal dasar yang mungkin bagi sebagian orangtua muda seperti saya, terlupakan. Karena lebih fokus dengan fasilitas sekolahnya lengkap atau tidak, sekolahnya pake AC atau tidak, nama sekolahnya terkenal atau tidak, seragam sekolahnya lucu ga, dan seterusnya. Saya pun akhirnya berpendapat, fasilitas sekolah dan semuanya itu adalah penunjang. Hal terpenting adalah tenaga pengajar yang berkarakter, yang mampu mendidik dengan hati dan menjadi panutan bagi siswanya. Karena tanpa itu, maka fasilitas sekolah dan nama besar sekolah is nothing! Lalu ketika itu ada, apakah kita begitu saja mempercayakan anak dengan gurunya di sekolah? Tentu tidak!

Agama Islam mengajarkan bahwa anak dibentuk oleh didikan orangtuanya, dan itu pula yang diterapkan Ayah Edi, praktisi parenting di Indonesia, yaitu gerakan Indonesia Strong From Home. Ceritanya saya follower gerakan Ayah Edi ini. Ya itu dia.. orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab atas karakter dan kepribadian anak ketika mereka sudah berada diluar rumah. Ketika kita sudah dengan usaha keras mendidik mereka, jika sekolah yang kita pilih tidak memiliki konsep dan rasa tanggung jawab yang minimal agak sama dengan kita, tentu itu tidak berjalan dengan baik dan akan pincang jalannya. Begitu pula, ketika sekolahnya sudah sangat baik memberikan mutu pendidikan bagi si anak, tetapi orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan kantor dan bisnisnya, maka itu juga tidak akan berjalan dengan baik. Sekolah dan orangtua adalah tim, sehingga mereka harus seiring sejalan. Ketika salah satu dianggap sudah tidak sejalan, maka salah satu lebih baik "mundur" mencari yang sejalan, tentunya dalam hal ini adalah orangtua yang mundur alias mencari sekolah lain yang dianggap sesuai dengan kebutuhan anaknya. Semoga apa yang jadi pandangan saya ini bisa bermanfaat dan menjadi sedikit referensi bagi para orangtua yang hendak mencari sekolah bagi anaknya di tahun ajaran 2013-2014 mendatang.

Mendidik Anak Untuk Bahagia

Add caption Beberapa hari lalu, tepatnya pas anak-anak didik saya di SFC Kids Futsal latihan, ceritanya saya membagikan piala yg sudah ...