Selasa, 07 Mei 2013

Jangan Egois Jadi Ortu Kalau Mau Anak Lebih Sukses Dari Kita (part 2)

Barangkali ada yang sempat baca tulisan saya yang part 1-nya, mengenai pandangan saya akan pemilihan sekolah untuk anak, yang belum sempat baca (mungkin) ada baiknya baca dulu dengan meng-klik link berikut : http://www.katadenita.blogspot.com/2013/02/jangan-egois-jadi-ortu-kalau-mau-anak.html

Kenapa di tulisan saya kali ini saya berikan judul yang sama dengan tulisan saya terdahulu, hanya ditambahkan part 2 saja? Karena seiring dengan waktu, pengetahuan dan pemahaman saya pun berkembang. Ceritanya putra sulung saya, Nadeem (5 thn) ceritanya tahun ini akan duduk di kelas TK B. Sebelumnya sudah bersekolah di sebuah sekolah swasta franchise yang memiliki konsep yang menurut saya bagus dan pas dengan apa yang saya dan suami cita-citakan dalam mendidik dan mengarahkan putra kami. Namun, seiring dengan berjalannya waktu pula, kami berdua khususnya saya yang sehari-harinya memang sangat fokus terhadap perkembangan kedua putra kami, mengevaluasi bahwa saat ini sekolah tersebut sudah tidak bisa mengakomodir apa yang jadi kebutuhan kami selaku orangtua dan juga putra kami selaku siswa disana.

Pemikiran tersebut membuat saya teringat diskusi saya dengan suami saya. Suami saya Deni, pernah bilang ke saya, bahwa sekolah di zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan zaman dulu pada saat angkatan kami. Zaman sekarang, sekolah itu sudah menjadi industri yang sifatnya mencari untung, baik itu swasta maupun negeri. Tetapi mungkin industri itu lebih terasa di lingkungan sekolah swasta. Nah, suami saya beralasan, jaman sekarang semua orang bisa buat sekolah asal punya modal dan tenaga pengajar, dengan segala positioning dan branding yang mereka tawarkan melalui brosurnya. Artinya apa? Kita harus hati-hati dengan sekolah-sekolah yang menawarkan berbagai konsep pengajaran yang terdengar sempurna, tanpa cacat. Karena terkadang idealisme dan kreatifitas tenaga pengajar yang minoritas, dapat tergusur dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh yayasannya yaitu pemilik modal, yang mendanai kegiatan sekolah, yang menggaji tenaga pengajar. Jika sudah demikian, maka saya selaku orangtua sudah waktunya mengevaluasi, segala benefit kami selaku pengguna jasa, apakah masih sama persepsinya akan benefits sekolah disana seperti saat awal memutuskan memilih sekolah tersebut.

Suami saya bilang ke saya, kira-kira begini dia bilang, "Selama ada uang, sekolah mana saja bisa kita daftarkan anak kita. Tetapi kita harus punya tujuan dulu, kita mau MENGARAHKAN atau MEMBENTUK si anak..? Kalau mau mengarahkan tentu kita cari sekolah yang memiliki banyak fasilitas, kegiatan dan konsep yang terbuka atau yang tidak memaksakan anak, karena biar anak yang memilih. Tetapi jika ingin membentuk, tentu pilihannya ya sekolah-sekolah yang seperti pesantren, karena disana kedisiplinan sangat ketat. Dari bangun subuh hingga tidur malam, mereka sudah diatur jadwalnya. Dengan rutinitas yang seperti itu, tentu akan terbentuk kedisiplinan itu".


Dan di usia anak 0 hingga 5 tahun adalah Golden Age, yaitu usia dimana anak sangat mungkin untuk DIBENTUK dengan cara dibekali berbagai keteladanan yang baik, yang bagi kami yang dari keluarga muslim, tentunya keteladanan yang sesuai dengan syariah agama dan pastinya norma sosial yang berlaku di masyarakat. Seperti disiplin waktu, sopan santun, sikap sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dll. Hal-hal dasar yang mungkin bagi sebagian orangtua muda seperti saya, terlupakan. Karena lebih fokus dengan fasilitas sekolahnya lengkap atau tidak, sekolahnya pake AC atau tidak, nama sekolahnya terkenal atau tidak, seragam sekolahnya lucu ga, dan seterusnya. Saya pun akhirnya berpendapat, fasilitas sekolah dan semuanya itu adalah penunjang. Hal terpenting adalah tenaga pengajar yang berkarakter, yang mampu mendidik dengan hati dan menjadi panutan bagi siswanya. Karena tanpa itu, maka fasilitas sekolah dan nama besar sekolah is nothing! Lalu ketika itu ada, apakah kita begitu saja mempercayakan anak dengan gurunya di sekolah? Tentu tidak!

Agama Islam mengajarkan bahwa anak dibentuk oleh didikan orangtuanya, dan itu pula yang diterapkan Ayah Edi, praktisi parenting di Indonesia, yaitu gerakan Indonesia Strong From Home. Ceritanya saya follower gerakan Ayah Edi ini. Ya itu dia.. orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab atas karakter dan kepribadian anak ketika mereka sudah berada diluar rumah. Ketika kita sudah dengan usaha keras mendidik mereka, jika sekolah yang kita pilih tidak memiliki konsep dan rasa tanggung jawab yang minimal agak sama dengan kita, tentu itu tidak berjalan dengan baik dan akan pincang jalannya. Begitu pula, ketika sekolahnya sudah sangat baik memberikan mutu pendidikan bagi si anak, tetapi orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan kantor dan bisnisnya, maka itu juga tidak akan berjalan dengan baik. Sekolah dan orangtua adalah tim, sehingga mereka harus seiring sejalan. Ketika salah satu dianggap sudah tidak sejalan, maka salah satu lebih baik "mundur" mencari yang sejalan, tentunya dalam hal ini adalah orangtua yang mundur alias mencari sekolah lain yang dianggap sesuai dengan kebutuhan anaknya. Semoga apa yang jadi pandangan saya ini bisa bermanfaat dan menjadi sedikit referensi bagi para orangtua yang hendak mencari sekolah bagi anaknya di tahun ajaran 2013-2014 mendatang.

Tidak ada komentar:

Mendidik Anak Untuk Bahagia

Add caption Beberapa hari lalu, tepatnya pas anak-anak didik saya di SFC Kids Futsal latihan, ceritanya saya membagikan piala yg sudah ...